Hukum Batalkan Puasa Syawal Saat Silaturahmi Lebaran
Seiring datangnya hari raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal, kaum muslimin di Nusantara memiliki tradisi silaturahmi berupa bertandang ke rumah saudara, tetangga, relasi dan orang-orang sepergaulan lainnya. Ini adalah bentuk hablum minan nas sebagai penyeimbang hablum minallah selama bulan Ramadhan.
Tetapi memasuki pada hari kedua bulan Syawal, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Kesunahan puasa sunah Syawal ini didasarkan pada riwayat populer dari Rasulullah SAW:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya, “Siapa saja yang berpuasa dibulan Ramadhan kemudian menyusulnya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka seperti puasa setahun penuh,” (HR Muslim).
Namun terkadang semangat berpuasa sunnah bulan Syawal sedikit menemui kendala ketika berbarengan dengan silaturrahmi dimana tuan rumah telah menyediakan beraneka ragam hidangan sesuai dengan tradisi lebaran di Nusantara.
Hendak tetap puasa sedang bertamu dan ditawari makan, mau membatalkan sangat disayangkan. Lalu sebaiknya bagaimana sikap ideal yang terbaik untuk diambil, tetap berpuasa atau membatalkannya?
Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan ia bersabda:
يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ. (الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ
Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.
Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36).
Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:
مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ
Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14).
Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunah bulan Syawal saat silaturahmi lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya. Wallahu a’lam.
___
Penulis: Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur
Editor: Ang Rifkiyal