Ulama dan Virus Corona di Mata Orang Awam
Dalam menyikapi segala sesuatu, seorang muslim tidak cukup hanya berbekal semangat beragama saja, melainkan harus pula dibarengi dengan ilmu.
Tanpa ilmu, banyak hal yang berkaitan dengan sandaran keagamaan kadang terlihat ganjil. Salah satu contohnya adalah ketika sepasang sendal jepit ditulisi lafadz berbahasa arab "يمين" dan "شمال".
Orang yang hanya memiliki semangat beragama saja, namun tidak memiliki ilmu, banyak yang terjebak melihatnya. Sebagian ada yang marah karena merasa telah terjadi penistaan, sebagian lagi ada yang mencaci dan berkata buruk.
Mungkin dalam pandangan mereka, ada anggapan bahwa setiap tulisan arab itu adalah al-Qur'an. Atau setiap tulisan arab itu adalah sesuatu yang suci dalam islam.
Pedahal, "يمين" dan "شمال" itu sendiri hanya bahasa arab biasa yang memiliki arti "kanan" dan "kiri", dan tidak masalah bila ditulis di mana pun sebagaimana bahasa-bahasa pada umumnya. Namun karena ditulis dengan bahasa arab, mungkin bagi mereka yang awam kesannya sangat islami dan berkaitan dengan keimanan.
Contoh lain misalnya, bila ada yang melaksanakan sholat dengan tangan terurai tanpa bersedekap di dada, bagi orang awam mungkin ini pasti akan nampak aneh. Dikomentari berlebihan, bahkan bisa dianggap aliran sesat.
Pedahal jika kita tahu ilmunya, bersedekap tangan di dada hukumnya sunnah menurut kebanyakan madzhab. Tanpa bersedekap tangan pun sebenarnya shalat tetap sah. Bahkan para pengikut Madzhab Malikiy, banyak yang melaksanakan shalat tanpa bersekap tangan.
Dan masih banyak contoh kasus lain yang berkaitan dengan semangat beragama yang tinggi, namun ilmu dan pemahaman rendah.
Terkait Wabah Virus Corona
Kekeliruan seperti di atas, hampir mirip dengan keawaman sebagian masyarakat dalam menyikapi himbauan terkait pencegahan wabah corona saat ini.MUI, para ulama, dan ormas islam menyerukan untuk menghindari keramaian dan perkumpulan yang melibatkan banyak masa, termasuk di dalamnya menghimbau menghentikan sementata kegiatan keagamaan seperti shalat jumat, shalat berjamaah, tabligh akbar, dan kegiatan lainnya.
Namun banyak orang awam kaget. Sebab shalat jumat,shalat berjamaah, pengajian akbar dan kegiatan perkumpulan lainnya adalah sesuatu yang dianjurkan oleh agama, dan sudah biasa dilakukan. Tapi sekarang ada imbauan untuk menunda melakukannya.
Mereka yang awam, yang tidak tahu dasar ilmunya banyak yang menolak dan melakukan perlawanan. Banyak narasi-narasi liar dimunculkan. Seolah imbauan para ulama tersebut bertentangan dengan syariat. Seolah yang mengikuti imbauan tersebut lebih takut corona ketimbang Allah SWT. Lantas dianggap sebagai tanda akhir zaman.
Pedahal himbauan para ulama tersebut sudah tepat, dan justru sudah sesuai dengan tuntunan syariat dan mengedepankan maslahat.
Ketika berjamaah dan pengajian akbar berpotensi menimbulkan adanya kehancuran, maka meninggalkan berjamaah dan pengajian akbar tersebut harus dikedepankan. Kenapa?
Dalam sebuah kaidah ushul fiqih disebutkan:
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Artinya:"Meninggalkan kerusakan didahulukan ketimbang mengambil kebaikan,"
Dalam hal ini, shalat berjamaah dan pengajian akbar adalah suatu kegiatan kebaikan. Namun di sisi lain, di masa pandemi seperti saat ini berjamaah dan pengajian akbar berpotensi pula terjadinya suatu bahaya berupa penyebaran wabah virus corona.
Maka jika melihat kaidah ushul fiqih di atas, meninggalkan berjamaah dan pengajian akbar harus dikedepankan sekiranya di wilayah tesebut dipertimbangkan rawan wabah. Lantas memilih opsi lain yang lebih aman dan tidak berpotensi terjadinya kerusakan.
Selain itu, banyak dalil dan landasan lain yang menjadikan munculnya pertimbangan para ulama dalam memberikan himbauan pencegahan virus corona.
Pada dasarnya, para ulama mengeluarkan himbauan atas dasar ilmu dan tanggung jawab sosial kemasyarakatan. Ada maslahat besar yang harus dikejar demi kelestarian umat dan tegaknya syariat.
Sementara, banyak orang awam yang hanya melihat dengan mengedepankan nafsu. Parahnya, mereka tidak sadar akan kebodohannya. Ada pula yang berani menentang dan menyalahkan ulama yang berbicara atas landasan dalil dan ilmunya.
Dalam beberapa istilah, perilaku orang awam tersebut dinamakan jahil murakkab. Artinya bodoh yang berlapis-lapis.
Sejatinya, jika orang awam mengambil urusan yang bukan keahliannya, maka akan timbul kehancuran.
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya:“Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.” (HR. Bukhari)
Orang yang awam dalam agama, seharusnya menyerahkan urusan ilmu agama pada ahlinya. Jika mereka merasa diri bukan seorang alim, tidak pernah mengaji, tidak pernah nyantri, tidak hafal al-Qur'an, Hadits, dan ilmu-ilmu agama, maka sebaiknya diam dan mengukur diri. Lantas ikut pada himbauan para ulama. Sikap inilah yang ideal bagi seorang awam.
Salah satu ulama besar berna Syaikh Khalil bin Ahmad pernah berkata:
الرِّجَالُ أَرْبَعَةٌ : رَجُلٌ يَدْرِي وَلا يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي فَذَاكَ غَافِلٌ فَنَبِّهُوَهُ ، وَرَجُلٌ لا يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ لا يَدْرِي فَذَاكَ جَاهِلٌ فَعَلِّمُوهُ ، وَرَجُلٌ يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي فَذَاكَ عَاقِلٌ فَاتَّبِعُوهُ ، وَرَجُلٌ لا يَدْرِي وَلا يَدْرِي أَنَّهُ لا يَدْرِي فَذَاكَ مَائِقٌ فَاحْذَرُوهُ
Artinya:Orang itu ada empat macam.
Pertama, orang yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti, itulah orang yang lalai, maka peringatkanlah ia.
Kedua, orang yang tidak mengerti dan ia mengerti bahwa ia tidak mengerti, itulah orang yang sadar diri, maka ajarkanlah ia.
Ketiga, orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti; itulah orang pandai, maka ikutilah ia.
Keempat, orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti, itulah orang yang mati/dungu, maka tinggalkanlah ia.
Semoga Allah SWT memberikan sikap terbaik pada kita, sehingga kita dijadikan orang-orang yang berpegang pada jalan kebenaran. Allahu a'lam.