Hukum Meyakini Allah Ada di 'Arasy (Langit)

Santripedia
Hukum Meyakini Allah Ada di 'Arasy (Langit)

Hukum bagi orang yang menyakini bahwa Allah SWT berada di 'arasy atau berdiam diri pada tempat tertentu.

Ulama Ahlusunnah Wal Jama'ah seluruhnya sudah menyepakati bahwa Allah SWT ada tanpa tempat, Allah SWT tidak membutuhkan tempat untuk tinggal. Sebab apabila Allah SWT membutuhkan terhadap perkara lain, termasuk terhadap tempat, itu berarti Allah SWT bukan lagi Dzat Yang Maha Kuasa dan Berdiri Sendiri karena membutuhkan terhadap perkara lain berupa tempat. Sedangkan membutuhkan terhadap perkara lain merupakan indikasi dari sifat lemah dan memiliki kekurangan.

Hal tersebut mustahil bagi Allah SWT. Sebab Allah SWT merupakan Dzat yang bersifat qiyamuhu Binnafs (berdiri sendiri), tidak butuh terhadap perkara lain. Sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya:
“..Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al-Ankabut: 6)

Sebagai muslim kita tidak boleh memiliki tekad dan keyakinan bahwa Allah SWT berdiam pada suatu tempat.

Keyakinan bahwa Allah berdiam pada suatu tempat adalah bagian dari faham mujassimah dan mutasyabbihah. Dimana mereka meyakini bahwa Allah SWT berada di langit (Arasy) sebagaimana para malaikat dan makhluk lainnya yang membutuhkan tempat untuk tinggal.

Apabila kita meyakini hal tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kita akan jatuh kedalam jurang kekufuran.

Al-Imam Abu Ja'far At-Thohawi ulama dari kurun generasi ketiga berkata:

ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر
Artinya:
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir

Dan berikut ini adalah pendapat-pendapat para ulama masyhur lainnya tentang hukum bagi orang yang meyakini Allah SWT berada di suatu tempat,

Imam Abu Hanifah dalam Al-Fiqh Al-Absath
[2]
من قال لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض
Artinya:
“Barangsiapa berkata, ‘Aku tak tahu Rabbku di langit apa di bumi, berarti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu ada di atas Arsy, tetapi aku tak tahu Arsy itu di langit atau di bumi.”

Syaikh Izzuddin Bin Abdissalam dalam Hall Ar-Rumuz:
لان هذا القول يوهم ان للحق مكانا ومن توهم ان للحق مكانا فهو مشبه 

"Karena perkataan ini memberikan prasangka bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya.)”

Mulla Ali Al-Qari menyatakan, tidak diragukan bahwa Ibnu Abdussalam adalah seorang ulama besar dan sangat terpercaya, maka wajib berpegang pada kutipannya.

Abu Al-Qosim Al-Qusyairi dalam risalahnya berkata:

سمعت الإمام أبا بكر ابن فورك رحمه الله تعالى يقول: سمعت أبا عثمان المغربي يقول: كنت اعتقد بشيء من حديث الجهة، فلما قدمت بغداد زال ذلك عن قلبي فكتبت الى اصحابنا بمكة: إني أسلمت الآن إسلاما جديدًا اهـ
Artinya:
"Aku mendengar Imam Abu Bakar Ibnu Furak berkata: 'aku mendengar Abu Ustman Al-Maghribi berkata: 'Aku pernah berkeyakinan terhadap sesuatu dari hadis tentang arah. Namun ketika aku datang ke Baghdad maka hilanglah (keyakinan) tersebut dari hatiku. Kemudian aku menulis pada seluruh sahabatku di mekah, "Sesungguhnya aku sekarang telah islam dengan keislaman yang baru."

Al-Shaykh Lisanul-Mutakallimin Abul-Mu'in Maymun ibn Muhammad al-Nasafi al-Hanafi (w. 508 H) berkata dalam kitabnya Tabsiratul-Adillah fi Usulid-Din[6]:

والله تعالى نفى المماثلة بين ذاته وبين غيره من الأشياء فيكون القول بإثبات المكان له ردًّا لهذا النصّ المحكم – أي قوله تعالى{ليس كمثله شيء} – الذي لا احتمال فيه لوجهٍ ما سوى ظاهره ورادُّ النصّ كافر عصمنا الله عن ذلك
Artinya:
“Dan Allah taala menampik penyamaan antara zat-Nya dengan selain-Nya dari pelbagai perkara. Oleh karena itu, pendapat yang menetapkan tempat bagi-Nya adalah suatu sanggahan bagi nash yang muhkam ini, yaitu {ليس كمثله شيء} Surah al-Sura, ayat 11] yang di dalamnya tidak membuat bimbang ke suatu makna melainkan ke makna zahirnya. Orang yang menyanggah nash tersebut adalah kafir. Semoga kita dilindungi oleh Allah dari perkara tersebut”

Syaikh Zainud Den yg mashur dengan sebutan Ibin Nujaim al Hanafi [w 970 H ] Berkata:

ويكفر باثبات المكان لله تعالى, فإن قال: الله في السماء, فإن قصد حكاية ما جاء في ظاهر الأخبار لا يكفر, وإن أراد المكان كفر

Artinya: "Dan kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah Taala, kalau ia berkata "Allah di langit" jika maksud ucapan tersebut adalah hanya menceritakan dhahirnya khobar/hadis maka ia tidak kufur, tetapi jika maksudnya adalah tempat bagi Allah maka ia kafir" [Al Bahr Ar Raa'iq (Bab tentang Hukum kemurtadan 5 / 129].

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:

واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك

“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” [al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224]

Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:

فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة

“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” [Syarh al-Fiqh al-Akbar,  h. 215]

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abd al-Ghani an-Nabulisi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul al-Fathar-Rabbâny Wa al-Faydl ar-Rahmâny menuliskan sebagai berikut:

وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب، وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه

Artinya: “Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at-Takdzib (mendustakan). Adapunat-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya” [al-Fath ar-Rabbâny, h. 124]
______
[1] Madeena.org
[2] Al-Fiqh Al-Absath (s/12)

Dikumpulkan oleh Ang Rifkiyal