Jargon "Kembali Pada Al-Quran dan Hadits" ala Wahabi
Seruan kembali pada al-Quran dan Hadits itu bagus. Keren. Apalagi jika disampaikan dengan cara dan bahasa yang menggoda, semua orang pasti akan tertarik untuk mengikutinya.
Sayangnya, jargon sekeren ini kini sering dimanfaatkan oleh sekte salafi-wahabi. Sekte ini gencar mengkampanyekan jargon kembali pada al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) tapi dengan maksud untuk penyebaran faham wahabismenya. Jargon yang mereka kampanyekan tersebut seringkali justru malah menjerumuskan umat pada kefatalan dalam pengambilan landasan ajaran islam.
Terlebih, jargon kembali pada al-Quran dan Hadits yang mereka kampanyekan dibuat untuk membunuh adanya pegangan bermadzhab. Sebagian dari kalangan mereka menuduh bahwa bermadzhab sebagai sesuatu yang tidak ada tuntunannya, bahkan sesat. Mereka menganggap, berpegang itu pada al-Quran dan Hadits, bukan pada Madzhab. Sehingga kemudian dikampanyekan jargon kembali pada al-Quran dan Hadits.
Kita yang tinggal di Indonesia ini, yang mayoritas bermadzhab syafi'i ini, boleh jadi masuk dalam lingkaran tuduhan sesat mereka. Sebab, mayoritas umat islam di indonesia adalah menganut faham ahlussunnah wal jamaah yang bermadzhab syafii dalam fiqih, dan bermadzhab asy'ari dalam aqidah. Pun halnya mayoritas umat islam di dunia, hampir seluruhnya menjalankan ajaran islam dengan melalui cara madzhab. Boleh jadi mayoritas umat islam ini pun disesatkan keberadaannya.
Sejatinya, jargon kembali pada Al-Quran dan as-Sunnah itu adalah sesuatu yang baik apabila tidak dengan tujuan membunuh madzhab dan tidak pula meninggalkan rujukan ulama. Bila membunuh madzhab dan meninggalkan rujukan ulama, maka jargon ini akan menjadi buruk dan tidak lagi menjadi baik, terlebih bagi kalangan awam. Sebab, orang awam jika mengambil rujukan dengan langsung pada al-Quran dan Hadits tanpa adanya tuntunan, maka akan sangat beresiko fatal. Ibarat orang sakit yang ingin segera sehat, lantas dirujuk langsung mengambil dan meracik obat sendiri di gudang, tanpa resep dan panduan, apa jadinya? Penuh resiko bukan?
Sejatinya, madzhab adalah formulasi untuk menghindarkan ketergelinciran umat di masa yang semakin menjauh dari masa Rasulullah. Sebab, sejarah membuktikan, bahwa banyak orang yang salah memahami al-Quran dan Hadits apabila tidak dengan tuntunan. Ini sudah terjadi pada masa-masa setelah masa Rasulullah.
Oleh karena itu, secara bertahap para imam dan ulama-ulama senantiasa bekerja keras untuk mengatasi hal ini. Hingga kemudian munculah ilmu-ilmu penyokong guna menjaganya. Adanya tafsir, ilmu al-Quran, ilmu Hadits, ilmu Lughoh, ilmu Tajwid, Ilmu Fiqih, Ushul Fiqh, dsb. Semua hadir untuk menjaga dari kesalahan dalam memahami al-Quran dan al-Hadits.
Kemudian rangkaian-rangkaian dari pengolahan dan lendalaman ilmu tersebut terealisasi dalam ijtihadnya seorang mujtahid.
Mujtahid ada banyak jenisnya, pun sosoknya. Namun dari banyaknya mujtahid, hampir semua mengerucut pada imam yang empat. Yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Yang kemudian keempat imam ini selanjutnya banyak diikuti, baik oleh kalangan awam maupun (bahkan) dari kalangan mujtahid sendiri. Hingga terbentuklah Madzahib al-Arba'ah.
Sejatinya, masyarakat awam tidak boleh gegabah dengan jargon kembali pada al-Quran dan as-Sunnah. Apalagi bila tidak memiliki dasar ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu pendukung dalam memahami kedua sumber hukum islam tersebut. Tidak semua makna al-Quran dan Hadits itu bisa dengan mudah langsung difahami secara tekstual, karena ada pula kandungan al-Quran yang harus dilihat kontekstualnya. Olehnya, sebagian ulama ada yang menggunakan takwil.
Pada akhirnya, kembali pada al-Quran dan al-Hadits harus dengan disertai tuntunan pemahaman pendukungnya. Dan melalui jalur yang sudah terdisiplin oleh para ulama yang menjadi pakatnya. Wallohu a'lamu bishowab.
**Ang
Sayangnya, jargon sekeren ini kini sering dimanfaatkan oleh sekte salafi-wahabi. Sekte ini gencar mengkampanyekan jargon kembali pada al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) tapi dengan maksud untuk penyebaran faham wahabismenya. Jargon yang mereka kampanyekan tersebut seringkali justru malah menjerumuskan umat pada kefatalan dalam pengambilan landasan ajaran islam.
Terlebih, jargon kembali pada al-Quran dan Hadits yang mereka kampanyekan dibuat untuk membunuh adanya pegangan bermadzhab. Sebagian dari kalangan mereka menuduh bahwa bermadzhab sebagai sesuatu yang tidak ada tuntunannya, bahkan sesat. Mereka menganggap, berpegang itu pada al-Quran dan Hadits, bukan pada Madzhab. Sehingga kemudian dikampanyekan jargon kembali pada al-Quran dan Hadits.
Kita yang tinggal di Indonesia ini, yang mayoritas bermadzhab syafi'i ini, boleh jadi masuk dalam lingkaran tuduhan sesat mereka. Sebab, mayoritas umat islam di indonesia adalah menganut faham ahlussunnah wal jamaah yang bermadzhab syafii dalam fiqih, dan bermadzhab asy'ari dalam aqidah. Pun halnya mayoritas umat islam di dunia, hampir seluruhnya menjalankan ajaran islam dengan melalui cara madzhab. Boleh jadi mayoritas umat islam ini pun disesatkan keberadaannya.
Sejatinya, jargon kembali pada Al-Quran dan as-Sunnah itu adalah sesuatu yang baik apabila tidak dengan tujuan membunuh madzhab dan tidak pula meninggalkan rujukan ulama. Bila membunuh madzhab dan meninggalkan rujukan ulama, maka jargon ini akan menjadi buruk dan tidak lagi menjadi baik, terlebih bagi kalangan awam. Sebab, orang awam jika mengambil rujukan dengan langsung pada al-Quran dan Hadits tanpa adanya tuntunan, maka akan sangat beresiko fatal. Ibarat orang sakit yang ingin segera sehat, lantas dirujuk langsung mengambil dan meracik obat sendiri di gudang, tanpa resep dan panduan, apa jadinya? Penuh resiko bukan?
Sejatinya, madzhab adalah formulasi untuk menghindarkan ketergelinciran umat di masa yang semakin menjauh dari masa Rasulullah. Sebab, sejarah membuktikan, bahwa banyak orang yang salah memahami al-Quran dan Hadits apabila tidak dengan tuntunan. Ini sudah terjadi pada masa-masa setelah masa Rasulullah.
Oleh karena itu, secara bertahap para imam dan ulama-ulama senantiasa bekerja keras untuk mengatasi hal ini. Hingga kemudian munculah ilmu-ilmu penyokong guna menjaganya. Adanya tafsir, ilmu al-Quran, ilmu Hadits, ilmu Lughoh, ilmu Tajwid, Ilmu Fiqih, Ushul Fiqh, dsb. Semua hadir untuk menjaga dari kesalahan dalam memahami al-Quran dan al-Hadits.
Kemudian rangkaian-rangkaian dari pengolahan dan lendalaman ilmu tersebut terealisasi dalam ijtihadnya seorang mujtahid.
Mujtahid ada banyak jenisnya, pun sosoknya. Namun dari banyaknya mujtahid, hampir semua mengerucut pada imam yang empat. Yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Yang kemudian keempat imam ini selanjutnya banyak diikuti, baik oleh kalangan awam maupun (bahkan) dari kalangan mujtahid sendiri. Hingga terbentuklah Madzahib al-Arba'ah.
Sejatinya, masyarakat awam tidak boleh gegabah dengan jargon kembali pada al-Quran dan as-Sunnah. Apalagi bila tidak memiliki dasar ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu pendukung dalam memahami kedua sumber hukum islam tersebut. Tidak semua makna al-Quran dan Hadits itu bisa dengan mudah langsung difahami secara tekstual, karena ada pula kandungan al-Quran yang harus dilihat kontekstualnya. Olehnya, sebagian ulama ada yang menggunakan takwil.
Pada akhirnya, kembali pada al-Quran dan al-Hadits harus dengan disertai tuntunan pemahaman pendukungnya. Dan melalui jalur yang sudah terdisiplin oleh para ulama yang menjadi pakatnya. Wallohu a'lamu bishowab.
**Ang