Akidah Takfiri Wahabi Merasuki Kurikulum Sekolah (1)

santripedia
Akidah Takfiri Wahabi Merasuki Kurikulum Sekolah (1)
Ilustrasi buku Al-Quran Hadits untuk MTs

Sejak puluhan tahun ternyata di dalam buku materi agama Islam seperti Akidah Akhlak dan al Qur’an Hadits baik di tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah yang berkurikulum pemerintah diajarkan akidah takfiri (pengkafiran terhadap umat Islam) sebagai ciri khas kelompok Wahabiyah. Namun sayangnya banyak para pengajar yang tidak mengerti adanya paham kaum teroris (red: wahabi) dalam buku yang mereka baca (silahkan lihat misalnya buku karya Drs Abd. Wadud, MA, Al Qur’an hadits untuk, MTs kelas VII (Semarang, Thaha Putra 2009, hal.37-55) dan buku karya T. Ibrahim dan H. Darsono, Pemahaman Al Qur’an dan Hadits untuk MTs kelas VII (Solo, Tiga Serangkai, 2009) hal.30-41 dan hampir semua buku Akidah akhlak dan QH). Akidah takfir yang dimaksud adalah pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1. Tauhid Rububiyyah (dari kata dasar rabb) yaitu mengakui dan meyakini bahwa hanya Allah-lah tuhan pencipta, pengatur, pemelihara segala yang ada di alam semesta ini.

2. Tauhid Uluhiyyah (dari kata dasar ilaah) atau tauhid ibadah; yaitu menuanaikan ibadah dalam segala macam dan bentuknya dengan ditujukan semata-mata hanya kepada Allah ta’ala tanpa dinodai sedikitpun dengan syirik

3. Tauhid Asma wa Shifat; yaitu menetapkan segala asma al husna dan sifat-siaf sempurna yang ditetapkan sendiri oleh Allah dalam al Qur’an atau melalui lisan Rasul Nya tanpa tasybih, tamtsil, tahrif dan ta’thil.

Sekilas pembagian dan definisi tersebut tidak bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Namun apabila dicermati, maka akan kita ketahui ada maksud terselubung di balik pembagian tersebut, yaitu misi takfir syumuliy (mengkafirkan umat Islam secara menyeluruh) yang bertentangan dengan akidah Aswaja. Terlebih lagi, pembagian semacam ini juga tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sahabat serta para ulama salaf dan khalaf.

Perlu diketahui bahwa ada misi takfir di balik pembagian tauhid ini, yaitu:

1. Untuk mengkafirkan mayoritas umat Islam yang memperbolehkan dan melakukan tawassul, tabarruk dan istighatsah.

2. Mengkafirkan para ulama ahlussunnah wal jamaah yang mentakwil ayat-ayat mutasyabihat

Ibnu Taimiyah (orang yang pertama kali membagi tauhid menjadi tiga) dan para pengikutnya (sekte wahhabiyah) beranggapan bahwa tauhid rububiyyah bukan monopoli orang Islam saja, bahkan menurut mereka orang-orang kafirpun mengakuinya.

Sedangkan pembeda antara seorang mukmin dan kafir adalah pada tauhid uluhiyyah. Menurut mereka orang yang bertawassul, bertabarruk dan beristighatsah telah melanggar tauhid uluhiyyah, karena menurut mereka tawassul, tabarruk dan istighatsah dengan selain Allah berarti beribadah kepada selain Allah. Maka meskipun pelakunya mengaku sebagai seorang muslim dan mengakui Allah sebagai tuhannya, pada hakikatnya dia telah musyrik karena tidak bertauhid uluhiyyah.(Lihat buku-buku karya dedengkot wahhabi seperti kitab Ulumiddin karya Abdul Adzim bin Badawi hal. 9-10 dan lainnya).

Yang lebih konyol lagi Muhammad bin Abdul Wahhab beranggapan bahwa kekufuran kaum muslimin yang bertawassul lebih buruk dari pada kekufuran para penyembah berhala.(sebagaimana dikutip oleh K.H Abdul Aziz Masyhuri dari Fatwa Lembaga Ulama al Azhar Mesir dalam Majalah Rabithah Ma’ahid Jatim Jumadal Tsaniyah 1404 H/ April 1984 M).

Muhammad Basmir (dedengkot Wahhabi) bahkan pernah mengatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih murni tauhidnya kepada Allah dari pada orang Islam yang mengucapkan dua kalimah syahadat yang bertawassul (lihat kitab yang berjudul Kaifa nafhamu at Tauhid, hal.16)

Pembagian tauhid ini selain tidak ada dasarnya yang kuat, juga tidak tepat secara akal sebab pada hakekatnya ilaah adalah rabb dan rabb adalah ilaah tidak ada perbedaan di antara keduanya. Ketika seseorang meyakini tanpa ragu bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu maka dia akan menyembah-Nya dan tidak mensekutukan-Nya, seseorang tidak mungkin akan menyembah Allah apabila dia meragukan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Bahkan imam Abul Hasan al Asy’ari (imam Ahlussunnah Wal Jama’ah) ketika menafsirkan syahadat pertama Laa ilaaha illa Allah dengan laa khaaliqa illa Allah (tidak ada pencipta selain Allah). Dengan demikian tidak dapat dibedakan antara ilaah dan rabb.

As Sayyid Muhammad al Maliki dalam kitab Huwa Allah hal. 55-56 menyatakan bahwa tauhid uluhiyyah dan rububiyyah itu tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain (bersifat talazum) secara ‘urf dan syara’. Pengakuan terhadap ilaah secara otomatis pengakuan terhadap rabb, menyekutukan salah satu berarti menyekutukan yang lain. Maka dari itu barang siapa yang meyakini bahwa tidak ada ilaah yang berhak untuk disembah selain Nya, pasti itu berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada Rabb selain-Nya. Dan barang siapa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya dalam ibadahnya (memposisiskannya sebagai Ilaah) pasti ia berkeyakiann adanya sifat rububiyyah pada selain Allah tersebut (memposisikannya sebagi Rabb), karena segala yang tidak diyakini sebagi rabb mustahil dijadikan atau diyakini sebagai ma’bud (ilaah yang disembah).

Penjelasan di atas pada hakikatnya berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi, diantaranya adalah:

1. Ayat yang menerangkan tentang permulaan Khithab Allah kepada arwah “Alastu birabbikum” (bukankan aku adalah rabb kalian?” dalam ayat tersebut Allah tidak mengatakan biilaahikum artinya Allah menganggap cukup pengakuan mereka terhadap keesaan Allah dalam rububiyyah tanpa dibarengi uluhiyyah, karena keduanya talazum (tidak dapat dipisahkan dan dibeda-bedakan)

2. Hadits tentang talqin Mayit (yang hampir mencapai derajat mutawatir maknawi) yang menerangkan bahwa pertanyaan malaikat dalam kubur adalah man rabbuka (siapa rabmu?), dalam hadits ini pengakuan mayit bahwa Allah adalah rabb-nya (pengakuan rububiyyah) sudah dianggap cukup meskipun tanpa dibarengi dengan pengakuan uluhiyyah karena keduanya talazum (tidak dapat dibedakan).

Insya Allah penjelasan tentang bantahan pembagian tauhid pada tauhid Asma wa shifat akan disajikan pada edisi berikutnya.
___
Oleh: Oleh : Agus Hafidz Ghazali